Ini Pesan Untuk Para Calon Menteri dan Pimpinan Lembaga Keamanan Nasional

Selasa, 8 Oktober 2024

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Mayjen TNI (Purn) Dr. Saurip Kadi. (harian24news.id/Ist)

Jakarta, harian24news.id-Berkat kebijakan Reformasi Internal ABRI yang diambil oleh Panglima ABRI, Jenderal TNI Wiranto, menjelang akhir masa pemerintahan Orde Baru (Orba), bangsa kita berhasil terhindar dari konflik berdarah. Pengerahan TNI untuk menangani kekacauan umum dan menegakkan kedaulatan pemerintah, yang sering terjadi di era sebelumnya, tidak perlu dilakukan lagi.

Namun, setelah 27 tahun berakhirnya Orba yang dikenal militeristik, otoriter, dan sarat dengan praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), kita justru mengalami kemerosotan moral yang signifikan. KKN, mafia, dan pelanggaran etika moral yang sebelumnya terkendali, kini berkembang liar, bahkan menjadi budaya di kalangan masyarakat, terutama di antara para elit.
Mengambil Pelajaran dari Masa Lalu
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, perpolitikan nasional Indonesia didominasi oleh tiga kekuatan utama: Bung Karno, PKI, dan TNI. Ketika PKI dibubarkan dan Bung Karno tersingkir dari kekuasaan, TNI Angkatan Darat (AD) menjadi kekuatan politik dominan di Indonesia.

Untuk mengokohkan kekuasaannya, Orde Baru (Orba) melakukan operasi militer yang dipimpin oleh TNI-AD dalam menumpas G30S/PKI, di mana banyak warga sipil yang tidak bersenjata kehilangan nyawa dalam jumlah besar.

Sebagian lainnya menjalani hukuman penjara atau dikucilkan ke wilayah tertentu, seperti Pulau Buru, tanpa melalui proses peradilan yang sah. Jika kita jujur, kekerasan negara ini menimbulkan dendam mendalam di kalangan masyarakat, melanjutkan luka lama yang sudah ada sejak penumpasan DI/TII, PRRI, dan Permesta.

Kemudian, melalui TAP MPRS dan Undang-Undang, ABRI diposisikan sebagai alat kekuasaan dengan konsep Dwi Fungsi ABRI (DFA). ABRI, khususnya TNI-AD, tidak hanya menduduki posisi penting dalam pemerintahan, mulai dari RT, lurah, bupati, hingga presiden, tetapi juga menguasai Golkar (huruf kecil) yang berperan seperti partai politik.

Dominasi ABRI sangat terlihat, bahkan dalam Rapat Pimpinan (RAPIM) lima tahunan Golkar yang diselenggarakan oleh Staf Sospol ABRI. Dalam suprastruktur politik lainnya, Orba membentuk GOLKAR (huruf besar) yang terdiri dari tiga faksi: “A” (ABRI), “B” (Birokrasi, diwakili Mendagri), dan “G” (Fraksi Golkar di lembaga perwakilan). Selain itu, ABRI juga duduk di DPR/D dan Lembaga Utusan Golongan di MPR, sehingga di lembaga perwakilan, GOLKAR menjadi mayoritas mutlak. Setelah berakhirnya Lembaga Kompkamtib dan Bakorstanas, rekruitmen kader partai dan ormas ditangani oleh Wansospolpus di Mabes ABRI, dan Wansospolda di tingkat Kodam.

Orde Baru juga melakukan kontrol sosial melalui jajaran Komando Teritorial (Koter) TNI-AD dan aparat intelijen ABRI. Jutaan anak dari anggota PKI diberi stigma Tidak Bersih Lingkungan, yang membuat mereka dimarginalkan oleh negara. Peluang kerja yang terbuka bagi mereka sangat terbatas; perempuan hanya dapat bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) atau pelacur, sedangkan laki-laki terpaksa menjadi buruh tani, kuli bangunan, atau pekerja kasar lainnya. Mereka tidak mungkin menjadi pegawai negeri (PNS) apalagi prajurit TNI atau Polri. Bahkan untuk bekerja di perusahaan swasta yang mendapatkan fasilitas kredit bank, mereka akan terbentur oleh status Tidak Bersih Lingkungan.
Dalam skala yang lebih ringan, praktek marginalisasi serupa juga dialami oleh kelompok yang menganut politik Islam, dengan stigma EKKA. Selain itu, kaum terpelajar yang tidak mendukung Orde Baru juga mendapat stigma EKLA. Beban ini semakin berat bagi mereka yang lahir dari keluarga miskin. Bukan karena mereka malas, tetapi karena negara salah kelola. Sumber daya nasional hanya dikuasai oleh segelintir kroni penguasa, sehingga angka kemiskinan dan kesenjangan sosial di Indonesia saat ini sangat tinggi. Sistem politik yang mengandalkan biaya tinggi telah memperparah praktek oligarki di negeri ini.

Di tengah situasi ini, TNI dalam era demokrasi memilih untuk “bertapa dalam hiruk pikuk kekuasaan” (Tapa Sajeroning Projo). Dengan gaji yang sederhana, mereka tetap konsisten mengamalkan kode etik prajurit—prasojo (sederhana), jujur, dan irit—tanpa mengeluh atau merasa iri dengan rekan-rekan sejawat yang hidup mewah dan sibuk memperkaya diri dengan mengorbankan martabat. Meski demikian, berkat soliditas dan tingginya legitimasi publik, TNI diyakini akan tetap mampu menjaga keutuhan NKRI dalam situasi tertentu.

Kewajiban Pembantu Presiden untuk Menuntaskan Reformasi TNI dan Polri
Presiden terpilih, Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, telah merasakan pahitnya menjadi korban kebijakan politik negara sejak masa mudanya. Bersama keluarganya, ia mengalami tekanan politik. Menjelang puncak karirnya di TNI, ia juga terpinggirkan dan direndahkan karena perubahan dalam tata kelola kekuasaan negara. Dengan pemahaman mendalam tentang dinamika kekuasaan, sangat mungkin Prabowo memiliki tekad kuat untuk menuntaskan Reformasi Nasional, termasuk reformasi TNI dan Polri yang telah dirintis oleh pendahulunya. Ia diyakini akan mengakhiri tata nilai lama, termasuk warisan kolonial yang masih bertahan.
Reformasi internal ABRI 1998 secara singkat mencakup beberapa poin penting: (1) Penghapusan Dwifungsi ABRI; (2) Pengembalian TNI dan Polri ke jati diri masing-masing, dengan TNI berfokus pada pertahanan dan Polri pada Law and Justice System. Polri untuk sementara ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan, namun kemudian akan dialihkan ke Departemen Dalam Negeri atau, seiring perkembangan bangsa, di bawah Departemen Hukum dan Kehakiman; (3) Perubahan paradigma keamanan sesuai prinsip demokrasi, di mana keamanan diposisikan sebagai tanggung jawab sipil terlebih dahulu. Jika aparat sipil dan Polri gagal, barulah TNI mengambil alih dengan supremasi militer; (4) Kebijakan pensiun bagi karyawan ABRI; dan (5) Penataan ulang kekuatan dan kemampuan, termasuk distribusi pasukan TNI dan Polri.

Berdasarkan pengalaman masa lalu, para pembantu presiden yang menangani bidang keamanan nasional seharusnya menolak gagasan untuk menempatkan personil TNI di jabatan sipil tanpa harus pensiun. Lebih buruk lagi, jika alasannya adalah kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh segelintir petinggi TNI. Negara berkewajiban memastikan kesejahteraan dan jaminan hari tua yang layak untuk seluruh prajurit, bukan hanya bagi para perwira tinggi. Dengan Prabowo sebagai presiden terpilih, hal-hal mendasar dalam kehidupan prajurit ini diharapkan akan segera terwujud.

Reformasi TNI dan Polri yang perlu segera dilanjutkan mencakup penataan kemampuan, sejalan dengan kemajuan pemerintahan dalam pelayanan publik, serta redistribusi pasukan TNI agar lebih merata ke seluruh wilayah Indonesia.
Program aksi reformasi TNI dan Polri perlu segera dilanjutkan dengan penataan ulang kemampuan, sejalan dengan kemajuan pemerintahan dalam menyediakan fasilitas layanan publik. Khusus untuk program penataan gelar TNI, prioritas utama adalah redislokasi pasukan yang selama ini terpusat di Pulau Jawa, untuk menyebar secara merata ke seluruh wilayah, terutama di pusat-pusat kesenjataan dan pendidikan TNI. Redislokasi ini dapat dilakukan tanpa membebani APBN melalui model tukar guling dengan jaminan pemerintah. Langkah ini diharapkan akan menumbuhkan sentra ekonomi baru dan menciptakan kekuatan deterent untuk mengurangi keinginan daerah tertentu memisahkan diri dari NKRI.

Hal serupa juga berlaku untuk POLRI. Penyimpangan reformasi POLRI tidak seharusnya terus dibiarkan. POLRI seharusnya tidak hanya ditugasi menangani masalah keamanan dalam lingkup KAMTIBMAS, tetapi juga menghadapi ancaman dari kekuatan takyat bersenjata. Selama era Orde Baru, fokus keamanan POLRI terbatas pada KAMTIBMAS.

Penugasan anggota Polri ke kementerian dan lembaga pemerintahan lainnya sebaiknya tidak hanya menguntungkan segelintir petinggi Polri, tetapi juga berdampak negatif pada pembinaan karir di internal lembaga masing-masing.
Lebih jauh lagi, sungguh tidak etis jika para pembantu presiden yang menangani masalah keamanan, terutama pimpinan Polri, terbawa arus gagasan dalam RUU Polri yang secara substansial berupaya menghidupkan kembali UU subversif. RUU tersebut juga berpotensi memperluas wilayah tugas POLRI, yang dapat mengakibatkan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain yang telah diatur dalam UU. Selain itu, penanganan fungsi intelijen terhadap ancaman luar negeri seharusnya tidak menjadi kewenangan POLRI. Kepedulian elit bangsa terhadap pengaturan masalah keamanan seharusnya dapat diatasi dengan adanya UU Keamanan Nasional yang komprehensif.

Penulis adalah Wakil Ketua Tim Perumus Konsep Reformasi Internal ABRI. (**)

Berita Terkait

Komaruddin Hidayat Buka Dialog Nasional SMSI: Media Baru Harus Mengarah pada Pers Sehat
PMI Banten Serahkan Bantuan Kemanusiaan untuk Korban Bencana Alam
Presiden PMD: Pak Prabowo Subianto Sudah Sejak Lama Sangat Peduli Palestina
*Dukungan Waketum DPP REI untuk Bobby Nasution: Tanda Kepercayaan Nasional terhadap Kepemimpinan Sumut*
Tokoh Pemuda El Adrian Shah: Pemuda Jangan Terlena, Sumut Masih Punya Banyak PR!
Pengurus KADIN Binjai Disambut Baik Audiensi di Ruang Hasanul Jihadi
Bantahan Chandra Dalimunthe soal “uang klik”, Taruhan Besar bagi Kehormatan PHTC Gubsu
BRI Insurance Catat Laba Rp467 Miliar hingga Kuartal III 2025, Kinerja Tetap Solid di Tengah Tekanan Industri

Berita Terkait

Selasa, 16 Desember 2025 - 10:47

Komaruddin Hidayat Buka Dialog Nasional SMSI: Media Baru Harus Mengarah pada Pers Sehat

Senin, 15 Desember 2025 - 13:39

PMI Banten Serahkan Bantuan Kemanusiaan untuk Korban Bencana Alam

Minggu, 30 November 2025 - 23:28

Presiden PMD: Pak Prabowo Subianto Sudah Sejak Lama Sangat Peduli Palestina

Sabtu, 8 November 2025 - 10:02

*Dukungan Waketum DPP REI untuk Bobby Nasution: Tanda Kepercayaan Nasional terhadap Kepemimpinan Sumut*

Rabu, 29 Oktober 2025 - 12:18

Tokoh Pemuda El Adrian Shah: Pemuda Jangan Terlena, Sumut Masih Punya Banyak PR!

Berita Terbaru